A Decade of Dedication Selasar Sunaryo Art Space


I Wayan Seriyoga Parta

Sepuluh tahun sudah Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) hadir dalam perkembangan seni kontemporer Indonesia. SSAS yang pada awalnya hanya dimaksudkan untuk mawadahi karya-karya pribadi Sunaryo, akhirnya (atas peran beberapa pihak selain Sunaryo sebagai pemilik) berkembang menjadi “ruang terbuka” bagi berbagai aktivitas seni dan budaya. Menurut penuturan Sunaryo kelahiran SSAS adalah obsesinya sejak masih dibangku kuliah, ia mengidamkan sebuah ruang yang bisa mewadahi karya-karnya dan disisi lain juga dapat menjadi ruang mediasi bagi berbagai aktivitas seni dan budaya. Secara perlahan obsessi itu mulai diwujudkan, tahun 1982 ia mulai membeli tanah di Bukit Pakar Timur seluas 5000 meter persegi. Sepuluh tahun kemudian th 1999 pembangunannya mulai dilaksanakan dan baru rampung di tahun 1997, untuk racangan artekturalnya Sunaryo pun bekerjasama dengan arsitek Baskoro Tedjo. Tepatnya bulan September 1998 SSAS diresmikan dengan gelaran pameran tunggal Sunaryo berjudul “Titik Nadir”, merupakan bentuk penyikapan Sunaryo atas kondisi keterpurukan ekonomi yang tengah dialami bangsa Indonesia saat itu. Dalam sebuah tulisan yang dipajang pada pintu masuk ruang pameran Sunaryo, pun berucap:

“Prahara negeri kita mendesak saya untuk membungkus seluruh karya ini. Sejak awal tahun 1998, telah hilang daya untuk berkreasi seperti biasanya. Rasa gusar, pedih, cemas membuat semua beku. Terhimpit segala rasa. Krisis… sampai titik nadir…! Dalam proses pembungkusan terjadi interaksi bagai berkarya di atas karya. Bahkan terjadi reinterpretasi karya. …Sampai kapan terdiam dan tetap terbungkus? Entah… menunggu mentari negeri kita mulai berseri…,”1.

Dalam suasana penuh keprihatinan itulah SSAS lahir, sebagai seniman Sunaryo menyadari kehidupan (seni) harus terus berjalan walau apapun yang sedang terjadi. Dalam perjalanan awal Sunaryo kerap meminta pertimbangan dari berberapa pihak untuk memberikan pertimbangan program-program yang akan dilaksankan SSAS. Pada tahun 2000 atas usulan  dari Jim Supangkat Selasar Seni Sunaryo berubah menjadi Selasar Sunaryo Art Space.

Kini untuk memperingati sepuluh tahun SSAS pameran A Decade of Dedication. Acara tersebut dilaksanakan pada tanggal, 5–26 September 2008 dan dibuka oleh Goenawan Mohammad ini, dibaringi dengan peluncuran buku yang bertajuk sama (Sepuluh Tahun Dedikasi Selasar Sunaryo) melibatkan 11 orang penulis antara lain; Prof. Sardono W. Kusumo, Yuswadi Saliya, Jim Supangkat, Asmudjo J. Irianto, Aminudin TH. Siregar, Hendro Wiyanto, Rizki A. Zaelani, Agung Hujatnikajennong, Wulan Dirgantoro, Gustaff H. Iskandar, bertindak sebagai editors: Hawe Setiawan dan Agung Hujatnikajennong.

Pameran, diikuti oleh 36 orang perupa antara lain: Kelompok Seni Rupa Jendela (Handiwirman Syahputra, Jumaldi Alfi, Yusra Martunus, Rudi Mantofani, Yunizar), Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma, Diyanto, Deden Sambas, Seno Gumira Ajidarma, Tisna Sanjaya, R.E. Hartanto, Haryadi Suadi feat. Radi Arwinda, Videobabes, TROMARAMA, OQ, Anggun Priambodo, Arin D. Sunaryo, Yusuf Ismail, Adhya Ranadireksa, Asmudjo J. Irianto, Heri Dono, Ahadiat Joedawinata, M. Irfan, Gusbarlian, Joko D. Avianto, Sunaryo, Arief Tousiga, Duto Hardono. Pameran ini dikuratori oleh Agung Hujatnikajennong & Albert Yonathan Setyawan. Dalam pengantar kuratorial, pameran ini tidak hanya dimaksudkan sebagai acara serimonial semata, karena itu melalui pameran ini kurator menawarkan sebuah ajakan untuk membahas tentang apa itu “seni” hari ini. Pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang terasa menggelitik, bukankah aktivitas seni rupa selama ini merupakan implementasi dari seni itu sendiri. Seni rupa seperti sudah lumrah dikenali, namun dalam perkembangannya praktek seni rupa kian melebar, beragam, dan semakin sulit untuk didefinisikan.

Dalam kelumrahan inilah tawaran kuratorial pameran “A Decade of Dedication” Selasar Sunaryo menjadi penting untuk disimak, kurator pameran kembali mengingatkan bahwa pembacaan seni tidak hanya tugas para penulis, kritikus atau kurator. Seniman sebagai kreator juga berperan dalam menjelaskan aktivitas kreatifnya. Dalam proses kreasi seniman melibatkan unsur fisik dan pemikiran yang kemudian “diramu” dalam wujud visual (karya). Dengan itu karya seorang seniman pada kenyataannya menyiratkan pergumulan ide dan pemikiran senimannya beserta analisis terhadap perkembangan seni itu sendiri. Hal ini menjadikan karya-karya seniman akan terus berkembang selalu menunjukkan kebedaan antara satu dengan lainnya, serta kebedaan dalam setiap rentang jaman. Perkembangan pergumulan pemikiran oleh seniman sering dimaknai sebagai sesuatu yang hidden dan kurator/kritikuslah yang memiliki tugas untuk membaca dan menterjemahkannya kedalam sebuah tulisan. Pada pameran ini seniman dilibatkan untuk menuangkan kembali pergumulan kreatifnya dalam bentuk tulisan.

Sehingga dalam pameran ini yang ditampilkan tidak hanya karya-karya seniman, tapi juga rekaman pemikiran dan pandangan senimannya tentang seni dan aktivitas kreatif yang tengah dijalaninya dalam bentuk tulisan. Karya dan tulisan seniman sama-sama  ditampilkan berdampingan dalam ruang pameran SSAS. Ini dimaksudkan kurator sebagai upaya SSAS untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Sebagian besar pendapat dari para seniman dalam pameran ini menyakini seni sebagai media ekspresi, gagasan, ide, mereka masing-masing sebagai individu kreatif. Ini ditengarai oleh Agung & Albert (kurator pameran), “menyiratkan warisan konsep otonomi seni modern”2. Sebuah fenomen menarik, meskipun secara umum seniman meyakini konsep-konsep kebaruan, individualitas sangat melekat dalam aktivitas kesenian mereka. Sebagian seniman berpendapat seni selayaknya memiliki peran dalam medan sosial seni, seperti; menjadi agen perubahan, mampu bersikap kritis, dan ikut ambil bagian dalam konstruksi kebudayan, sebagian lagi berusaha untuk mengupayakan mendekatkan seni pada masyarakat. Fenomena ini menarik, seniman yang sadar aktivitasnya berada dan dikonsumsi dalam wilayah elitis (modal-kapitalis) pada hakekatnya tetap memiliki “romantisme” (kesadaran) terhadap medan sosial mereka. Walaupun itu bersifat sangat paradoks, karena sesungguhnya mereka hanya berbicara pada medan seni dan pada sisi yang lain tetap berjarak dengan medan sosial. Tapi itulah realitas seni kontemporer, relitas yang penuh dengan paradoks.

Ide kuratorial yang terimplementasi dalam pameran “A Decade of Dedication” memang mampu menunjukkan posisi dan peran SSAS dalam memberi kontribusi pada pergulatan wacana seni rupa kontemporer Indonesia. Tidak hanya pada pameran ini, juga dapat dilihat dalam program-program yang selama ini SSAS telah laksanakan baik dalam bentuk pameran, pertunjukkan, diskusi, serta even-even lain yang bertarap internasional. SSAS tidak hanya berperan dalam memberi kontribusi dalam perkembangan seni rupa semata, aktivitas SSAS selama ini bersifat komplek. Dalam sepuluh tahun ini SSAS, seperti diceritakan Agung Hujatnikajennong “menjadi pusat kegiatan seni budaya yang paling aktif dalam skala nasional maupun internasional, melalui penyelenggaraan pameran seni rupa dalam, seni pertunjukan, pemutaran film, diskusi sastra dan forum pertukaran lain yang terbuka seluas-luasnya untuk publik”3. Ini tentu prestasi yang patut diapresiasi mengingat selama ini SSAS melaksanakan program-progamnya didanai oleh Sunaryo sendiri owner.

Kehadiran SSAS sejak tahun 1998 berada dalam masa awal pertumbuhan infrastruktur seni rupa berupa galeri (pasar) dan juga kurator indefenden. Pada sisi yang lain, juga mulai munculnya ruang Alternatif yang dimotori oleh Cemeti Art House di Yogyakarta hingga kemudian menstimulasi pertumbuhan ruang alternatif didaerah lain. Kelahiran ruang alternatif itu (Cemeti) merupakan reaksi seniman terhadap pasar, dalam hal ini galeri komersial yang dianggap “semena-mena” dalam membentuk nilai. Dalam konteks Indonesia seni lukis menjadi primadona dalam pasar seni rupa, dan kecenderungan karya-karya eksperimental yang tumbuh “subur” di tahun 1990-an jelas tidak dapat dengan mudah masuk dalam apresiasi pasar. Menyadari praktek kreatifnya tidak dapat terwadahi dalam pasar seni rupa (lukis), muncul inisiatif seniman untuk membuat ruang sendiri guna mewadahi aktivitas kreatif mereka. Dalam ruang itu mereka memiliki kebebasan penuh untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Dalam ketegangan itulah SSAS lahir dan berkembang hingga saat ini, sebagai salah satu ruang alternatif SSAS menawarkan sesuatu cara pandang yang berbeda. Sejak awal berdiri SSAS tidak berada dalam ketegangan dengan pasar, walaupun pilihan Sunaryo untuk membiayai sendiri program-programnya untuk menghindarkan diri dengan komersialisme. Akan tetapi SSAS tidak pernah menolak dan bereaksi terhadap pasar. Posisi SSAS dalam hal ini dapat dibedakan dengan Cemeti yang sejak awal merasa “gerah” dan bereaksi dengan sikap dan selera pasar pada saat itu, sehingga mereka mengambil sikap oposisi dengan pasar. Yang kemudian dibuktikan dengan keberhasilan mereka dalam membangun jaringan dengan pergerakan ruang alternatif  di luar negeri, serta membangun jaringan “pasar alternatif” bagi kecenderungan karya-karya yang mereka tampilkan. Sebagai ruang SSAS tidak hanya menampilkan karya konvensional (lukisan), namun juga berbagai kecenderungan lain seperti instalasi, performance art, performing art, video art, dan berbagai aktivitas seni lainnya.

Jika kemudian muncul kesadaran SSAS untuk ambil peranan dalam pasar dengan mengoptimalkan “Bale Tonggoh” yang dibangun tahun 2007, tentu sangat rasional dan bermakna positif dan dapat mensubsidi program-program yang akan laksanakan. Apalagi jika kualitas seniman yang karya-karyanya dipamerkan juga terseleksi dengan baik, seperti ditegaskan Asmudjo J. Irianto.4

Semua pencapaian luar biasa  SSAS dalam sepuluh tahun hingga menjadi seperti sekarang ini, “saya biarkan saja mengalir” seiring dengan waktu dan tentunya atas peran pihak-pihak yang terlibat didalamnya, ungkap Sunaryo diselala-sela kesibukannya menyiapkan pameran“A Decade of Dedication”.  Pencapai ini jelas tidak terjadi begitu saja, sifat terbuka (open mind) Sunaryo terhadap sesuatu “baru” dan ketertarikannya pada berbagai bidang bahkan hal-hal yang jauh dari disiplin seni yang dijalaninya. Sunaryo memiliki pergaulan yang luas, hal ini manjadikan pikirannya selalu terbuka dan ide-idenya terus berkembang. Tentunya kita semua berharap SSAS terus berkembang dan semakin memantapkan eksistensinya dalam memediasi seni dengan medan seni dan medan sosial seni di Indonesia.

Catatan

1. Hawe Setiawan dan Agung Hujatnikajennong, A Decade of Dedication Selasar Sunaryo, Yayasan Seni Sunaryo, Bandung 2008

2.Agung Hujatnikajennong & Albert Yonathan Setyawan, Merumuskan Kembali “Seni” Hari ini dan Esok, Pengantar Kuratorial Pamaren A Decade of Dedication Selasar Sunaryo, Selasar Sunaryo Art Space Bandung 2008

3. Agung Hujatnikajennong, Rancangan Program Peringatan 10 Tahun Selasar Sunaryo Art Space: Dedikasi Satu Dekade, Selasar Sunaryo Art Space Bandung 2008

4. Asmudjo Jono Irianto, Op.Cit

Versi edit (pendek) tulisan ini (dengan Judul 10th Selasar Sunaryo, dimuat pada Majalah Visual Art edisi Oktober-November 2008