MENGOLEKSI KARYA SENI RUPA SEBAGAI LIFE STYLE


I Wayan Seriyoga Parta

Suasana Pameran di Galeri

Pendahuluan

Perkembangan seni rupa kini atau yang lebih akrab disebut sebagai kontemporer ditandai dengan meluasnya kembali wilayah dan cakupan bidang seni rupa, setelah sebelumnya dispesialisasikan dan buatkan sekat-sekat yang memisahkan antara satu dengan lainnya. Seperti pemisahan fine art (seni murni) dan appleid art (seni terapan), kedua bidang seni rupa ini diletakkan dalam posisi biner dan kerap dipertentangkan secara dikotomis. Seni seni murni antara lain meliputi: seni lukis dan patung, pada perkembangan berikutnya juga seni grafis, sementara seni terapan mencangkup desain dan kriya (craft).

Seni Modern kemudian tumbuh menjadi sebuah lingkaran institusi, yang di dalamnya  terdapat museum sebagai kuilnya, seniman individual-genius-kreatif (author) yang umumnya laki-laki berkulit putih dengan ras barat (white male anglo), ada kritikus dan kurator, serta galeri dan balai lelang, juga kelas menengah atas yang menjadi apresiator untuk karya-karya seni modern. Kesemuanya itu berjalan dengan baik menjadikan seni modern sebagai satu-satunya bentuk kesenian yang ”universal”, melalui kolonialisme kemudian disebarkan dari Eropa menuju Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan bahkan Afrika.

Dikotomi seni murni (fine art) dan desain ternyata tidak berlangsung lama, ketika muncul arus besar yang disebut post modern, menyangsikan dan bahkan secara radikal mengumandangkan dekonstruksi atas modernisme meratas semua batasan dalam seni rupa sehingga menjadi sama semua (flat) tidak ada lagi perbedaan seni murni dan desain atau dengan kriya (craft). Gerakan ini menjadi sangat kuat karena muncul pada semua  lini, dalam kekaryaan tahun 1960an muncul seni pop yang membawa pengalaman dan citra-citra keseharian dalam ekspresi seni Andy Warhol membuat kaleng sup dalam kanvas dengan teknik cetak saring (sablon), Roy Lichtenstein mengangkat komik menjadi karya seni.

Pada ranah filsafat gerakan ini menjadi diskursus yang secara terus-menerus dibedah dan dibahas terutama oleh kaum post strukturalis. Secara sederhananya dapat kita temui dalam pengalaman emperis kehidupan sosial budaya sehari-hari, pada kenyataannya entitas kehidupan termasuk seni di dalamnya tidak dapat dengan tegas dipisah-pisahkan, selalu ada wilayah in betwen (abu-abu). Sebuah kenyataan emperis yang tidak dapat ditolak modernisme. Kini dalam wilayah yang disebut seni kontemporer, sulit bagi kita untuk membuat batasan-batasan antara seni dan desain. Ketika teknologi perkembang begitu pesat seperti sekarang ini, banyak seniman lukis berkarya dengan denga bantuan teknologi fotografi dan komputer. Begitu juga halnya dengan desain kredo form follow function sudah tidak lagi menjadi acuan, perkembang visual desain kini terlah berkembang jauh fungsi mungkin merupakan aspek yang kesekian dari wujud itu sendiri. Tri Wahyuni mengungkapkan terjadi pergeseran serius pada realitas orientasi nilai[1] dari kedua bidang seni tersebut, yang diuraikan menjadi:

Dari yang menganggap penting tentang keindahan, bergeser ke persoalan teknis, berubah lagi menjadi perkara makna, bergeser dan menaruh perhatian pada efek sensasi dan bermuara ke wilayah proses signifikansi bersama antara seniman/desainer, karya dan apresiatornya[2].

Pada karya-karya seni rupa modern kontrol atas artistic value sejajar dengan economic valeu, akan tetapi dalam seni rupa kontemporer ketika kekuatan kapitalis sangat berperan di dalamnya. Kekuatan pasar begitu besar dalam menopang perkembangan karya-karya seni rupa kontemporer. Untuk mendapat gambaran tentang pasar dalam menopang seni rupa kontemporer, berikut adalah uraian dari Silvana Silveira:

To understand the contemporary art market, we need to consider its components and players. The primary art market focuses on fairs and exhibitions, allowing new artists to be discovered or promoted. The secondary market is dictated largely by auction houses and dealers, with the support of art advisers, entrepreneurs, curators and collectors, who enable artists’ reputation by establishing the market price of their work[3].

Pasar pada lapisan kedua (secondary market), dalam bebeberapa tahun belakangan memarakkan berkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Sejak tiga tahun belakangan, puluhan balai lelang bertumbuhan di Indonesia, seperti: Masterpiece, Borobudur, Heritage, Cempaka, Denindo, dan masih banyak lagi. Melalui balai lelang itulah karya-karya seniman muda, yang paling fenomenal adalah Nyoman Masriadi dalam acara lelang di Hongkong di tahun 2008 harga salah satu karyanya bisa menembus angka penjualan sekitar enam miliar rupiah. Harga yang cukup fantastis melewati seniman senior seperti Afandi, padalah dari jam terbang Masriadi masih jauh, bahkan masih belum bisa dibandingkan perupa Agus Suwage. Kondisi tersebut bisa terjadi karena mekanisme pasar dalam perkembangan seni rupa kontemporer ini.

Para apresiator dalam hal ini umumnya dari golongan menengah atas, yang menyadari mengoleksi karya seni rupa adalah sebuah prestise, dan  juga telah menjadi bagian dari gaya hidup kaum menengah atas di Indonesia. Dalam tulisan Ilham Koiri pada Kompas Minggu, 30 Agustus 2009, wawancaranya dengan narasumber Rachel Ibrahim, pemilik Sigi Arts Gallery di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mengungkapkan; ”peluasan apresiasi seni itu juga ditandai dengan tumbuhnya kolektor baru dari kalangan profesional muda kota. Bagi mereka, karya seni bukan lagi sekadar gengsi, melainkan kebutuhan gaya hidup yang bisa dinikmati dengan cara masing-masing”[4]. Bak gayung bersambut seiring dengan seni sebagai gaya hidup, seni juga menjadi investasi yang tak kalah seperti investasi saham. Su Mei Thompson menguraikan perihal ini sebagai berikut:

Pandangan bahwa karya seni bisa menjadi investasi yang baik, jika dibandingkan dengan saham dan obligasi, didukung oleh makin banyaknya studi akademis […] penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, laba yang diperoleh dari seni bisa dilawankan dengan laba dari saham dan obligasi, dan bahwa karya seni punya korelasi yang sangat lemah dengan pasar ekuisitas, yang berarti bahwa karya seni punya potensi yang amat berguna dan bernilai untuk berperan dalam diversifikasi fortofolio[5].

Seni rupa khususnya (seni lukis di Indonesia) dalam perkembangan seni kontemporer telah menjadi komoditi yang empuk bagi golongan menengah atas, menjadi sebuah pertise dalam gaya hidup dan sekaligus juga investasi yang baik. Sebuah perkembangan yang begitu massif dan tidak mungkin dalam era seni modern. Jika dalam seni modern melahirkan gaya/aliran (isme), maka kini dalam seni kontemporer muncul fesyen (fashion) tren yang tidak berdasarkan sebuah ideologi artistik seperti halnya dalam isme seni rupa modern. Sebagaimana halnya sebuah tren dapat dengan cepat berubah.

Pokok bahasan berikut dalamm kaitannya dengan Desain dan Gaya Hidup, penulis mencoba mengangkat fenomena fesyen dalam karya seni rupa kontemporer dan juga fesyen dalam mengoleksi karya tersebut pada golongan menengah atas di Indonesia yang direpresentasikan dengan tumbuhnya kolektor-kolektor muda. Dengan mendasarkan pada uraian yang telah membahas tiadanya lagi batasan yang ridgid dalam seni rupa (seni murni) dan desain di awal pendahuluan ini, didukung dengan uraian pada beberapa paragraf di atas. Fenomena seni rupa kontemporer dan desain kini sesungguhnya tidak jauh berbeda, sama-sama ditopang dan bemain dalam lingkaran kapitalisme.

Pembahasan

Seni rupa berkaitan erat dengan gaya hidup, para kolektor seni berburu karya seni sebagai koleksi untuk menunjukkan bahwa mereka bukan hanya mahluk yang haus dengan materi semata, namun juga memiliki cita rasa seni dan berbudaya. David Chaney dengan mengutif dari Bayley menguraikan ”cita rasa adalah sebuah agama baru dengan upacara-upacara yang dirayakan di pusat-pusat perbelanjaan dan museum, dua lembaga yang asal-usulnya terletak persis pada periode-periode historis yang menyaksikan ledakan konsumsi populer”[6]. Yang menarik dalam uraian Bayley adalah dia mencontohkan perayaan terhadap konsumsi tersebut justru terdapat dalam pusat pembelanjaan dan museum. Museum adalah sebuah lembaga yang dibangun dalam infrastruktur modern untuk menggusung nilai mahakarya (master piece) dari para maestro seni (rupa).

Dalam perkembangan seni modern lembaga ini benar-benar dijaga ketat (dalam artian nilai yang terdapat di dalamnya). Seiring dengan gerakan seni kontemporer yang mendasarkan diri pada post modern, aura museum mulai pudar. Bagi sebagian seniman museum seni modern telah menjadi ortodok, jutaan seniman yang tersebar di penjuru dunia tidak dapat menggantungkan karirnya pada institusi ini. Muncul kemudian gerakan alternative space yang menggusung perlawanan terhadap ke-absolut-an museum, gerakan ini tidak hanya berbentuk sparatis namun di dukung oleh kurator yang menjadi indefenden. Whitney Biennale 1993 membuat catatan sejarah yang dikemudian hari menjadi penanda penting perkembangan seni rupa kontemporer dan pergeseran museum modern hingga kemudian mengadopsi perkembangan seni kontemporer.

Kita kembali kepada hasrat untuk mengkoleksi karya seni, umumnya berkaitan dengan strata sosial atau kelas tertentu yaitu kelas menengah atas. Golongan masyarakat yang kebutuhan konsumsinya sudah jauh melampaui kebutuhan primer. Untuk membahas lebih lanjut tentang struktur sosial kelas menengah atas ini Chaney kembali menjelaskan bahwa ”gagasan tentang atas atau elit digunakan untuk menunjuk mereka yang memiliki kemampuan dalam melanggengkan hak-hak istimewa atau previlese mereka melalui ruang dan waktu”[7]. Mereka membuat definisi-definisi identitas dengan memakai symbol-simbol yang bermakna kultural. Baudrillard filsuf asal Prancis yang mencetuskan pembahasan tentang simulacra berpendapat ”bahwa ide tentang kebutuhan kultural sesungguhnya adalah sebuah mitos budaya”[8]. Karya seni rupa dalam hal ini menjadi obyek untuk melanggengkan mitos tersebut.

Di Indonesia tradisi mengoleksi karya seni rupa sejak awal kemerdekaan dimulai oleh presiden Soekarno, seorang teknokrat dan politikus yang memiliki kecintaan yang mendalam terhadap seni. Soekarno adalah presiden yang sangat dekat dengan seniman, ia bahkan membayar dengan mencicil untuk membeli karya Afandi, Hendra Gunawan, Sudjojono dan lainnya. Berkat jasa Soekarno lah istana negara memiliki koleksi karya seni lukis dari para maestro Indonesia yang bernilai sejarah, diwariskan hingga saat ini. Di tahun 1990-an muncul kolektor yang cukup berpengaruh asal Magelang Oei Hong Djien, yang mempunyai koleksi cukup lengkap dan mampu menggerakkan para pengusaha tembakau untuk mulai mengoleksi karya seni rupa terutama karya-karya seni lukis.

Kecenderungan untuk mengoleksi karya seni rupa semakin meningkat ditahun 2000-an yang ditandai dengan tumbuhnya kolektor-kolektor muda, umumnya mereka adalah para eksekutif muda dari golongan menengah atas yang memiliki basik pendidikan dari luar negeri. Dalam ulasan perihal Sepak Terjang Kolektor Muda di Indonesia Yusuf Susilo Hartono menguraikan ”dalam praktek mengoleksi seni rupa kontemporer, sekurang-kurangnya terdapat aspek kesenangan adventurer, resiko, kompetisi dan gaya hidup”[9].  Lebih lanjut Yusuf menjelaskan:

Gerbong kolektor muda di Tanah Air berisi orang-orang yang dilahirkan galeri, balai lelang, keluarga pencinta seni, atau di luar itu. Usianya rata-rata di bawah 50 tahun, lulusan luar negeri, punya sence of busness yang kuat, dan merupakan orang-orang yang sukses atau menuju sukses di bidangnya[10].

Masih dari ulasan Yusut, Paula Dewiyanti seorang kolektor muda Jakarta mengungkapkan; ”bagi seorang kolektor ”sejati”, katanya, amat memuaskan bila karya seni yang dipilih (sekarang hingga dikemudian hari) benar, lalu pasar mengakui realitas itu dan lebih jauh menilai bahwa selera kolektor bersangkutan baik dan benar”[11].

Para kolektor muda inilah yang menopang perkembangan apresiasi karya-karya seni rupa kontemporer, didukung oleh sikap adventurer untuk menemukan dan lebih lanjut nantinya membuktikan bahwa pilihan mereka adalah karya dan seniman yang memiliki perkembangan karir  bagus. Pengoleksian karya seni dalam hal ini merupakan aktivitas konsumsi, seperti dijelaskan Yasraf Amir Piliang ”konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu”[12]. Adalah sebuah kepuasan yang tidak saja bersifat materi (karena seiring dengan senimannya harga karya tentunya melonjak naik), akan tetapi juga merupakan sebuah kepuasan batin karena telah menemukan sesuatu yang berharga.

Motivasi ekonomi berjalan sejajar dengan sebuah prestise yang dijanjikan dalam pengoleksian karya seni rupa, menjadikan para kolektor muda ini semakin semangat. Karena ”yang dikonsumsi tidak lagi sekedar obyek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi dibaliknya”[13]. Lebih lanjut menurut Yasraf Amir Piliang, ”obyek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu”[14]. Melalui pengkoleksian karya-karya seni seorang kolektor ingin menunjukkan diri dan status sosialnya, karya seni dalam hal ini merepresentasikan nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu. ”Konsumsi menurut Baudrillard memanipulasi obyek agar obyek-obyek tersebut agar menjadi tanda, dan supaya tanda-tanda mendefinisikan kategori-kategori tertentu dari seseorang”[15].

Dany Cavallaro memberi contoh pada sosok kolektor; ”seseorang yang mengumpulkan benda-benda sama sekali tidak untuk memenuhi rasa kepemilikan itu sendiri melainkan untuk memuaskan nafsunya demi meraih kesempurnaan pribad”[16]. Penggambaran Dany mungkin agak sedikit ekstrem karena dalam kenyataannya motovasi para kolektor dalam mengoleksi karya seni bisa diniatkan pada banyak hal, salah satunya adalah investasi dalam artian bernilai ekonomi. Karena karya seni bukanlah benda mati seiring dengan waktu dan perjalanan sang seniman nilai nominal karya itu akan semakin menigkat. Sedari awalnya hanya beberapa juta saat dibeli oleh kolektor akhirnya menjadi bernilai miliaran, itulah sebentuk investasi yang tentunya menjadi salah motivasi seorang kolektor.

Kembali mengutif dari Baudrillard yang mengungkapkan “kendati komoditi tampak nyata (sebagai entitas material), penampakan tersebutbukan berasal dari meterialitasnya dimana makna diturunkan, melainkan dari status simboliknya”[17]. Penulis muda Heru Hikayat dalam tulisannya di Visual Art edisi 33, secara tegas mengatakan “pengoleksian karya seni tak pelak adalah sebentuk fetisisme, karena bukan hal kebendaan dari karya itu yang dikoleksi dan atau diperjualbelikan”[18]. Dari semua pemaparan tentang konsumsi yang telah penulis kutif dari beberapa orang pemikir budaya, semuanya merujuk bahwa nilai simbolik yang terkandung dibalik pengoleksian terhadap karya seni itulah yang dikejar oleh para kolektor.

Pada tataran ini penulis menyepakati hal tersebut, akan tetapi karya seni rupa sesungguhnya adalah entitas bendawi (fisik) merupakan sebuah obyek visual. Sebagai obyek fisik karya seni tersebut memiliki kualitas tententu pada dirinya, karenanyalah kita dapat menilai bahwa karya A berkualitas dan layak untuk dikoleksi dan karya B kurang/belum dan seterusnya. Sebagai entitas fisik karya seni juga dinikmati secara indrawi, jadi selain bernilai simbolik sebagai status diri karya seni dapat secara terus menerus dinikmati dan oleh kolektor karya tersebut ditempatkan pada ruang khusus bahkan dibuatkan museum.

Perkembangan seni rupa kontemporer tentunya tidak berdiri sendiri, namun melibatkan peran galeri dan kurator yang sejak beberapa tahun belakangan ini mulai dilihat sebagai profesi yang juga berperan penting dalam memacu perkembangan seni rupa kontemporer. Di samping itu, tidak kalah penting adalah peran media publikasi baik cetak maupun internet seperti; email, blog, dan terutama jejaring sosial cyber semacam facebook, twitter dan sebagai yang mengalami booming sejak tiga tahun belakangan. Media cetak tetap mempunyai peran penting didalam konstelasi ini, seperti Majalah Visual Art, C-Art, dan juga Arti, bahkan kini media-media gaya hidup kelas menengah seperti: Majalah Harpers Bazar, Rolling Stone, FHM yang berbahasa Indonesia menyediakan satu rubrik yang menampilkan dan membahas seniman dan karya-karya seni rupa kontemporer. Majalah-majalah tersebut merupakan segmentasi kelas menengah atas, didalamnya menampilkan berbagai ciri khas gaya hidup bagi kelas tersebut.

Seniman mulai terbiasa untuk diundang dalam sesi pemotretan dan wawancara ekslusif untuk dimuat dalam kolom majalah-majalah tersebut. Jika sebelumnya pada rubrik  foto-foto ”narsistik” majalah-majalah tersebut hanya  dihiasi dengan foto-foto para eksekutif muda dengan pakaian dandy menggandeng pasangan perempuan cantik dan seksi tengah menghadiri pertemuan direstoran mewah atau peresmian perusahan tertentu. Namun kini juga kerap menampilkan foto mereka dengan seniman sedang menghadiri pembukaan pameran seni rupa di galeri. Contoh-contoh tersebut dapat dilihat sebagai representasi keterlibatan seni rupa kontemporer dalam ranah gaya hidup. Kondisi ini tidak saja memberi dampak positif bagi perkembangan karir seniman, namun juga berimplikasi langsung pada perubahan gaya hidup seniman.

Citra seniman sebagai manusia yang eksentrik, berambut panjang, dekil, dan tinggal menyendiri, kini sepertinya sudah tidak ada lagi. “Seniman” sekarang sudah mulai tampil dandy, merawat diri, tinggal di rumah mewah lengkap dengan satpam dan kolam renang dan bar mini (karena umumnya seniman dekat dengan minuman keras) dengan mobil mewah. Perkembangan ini menjadikan seni rupa Indonesia terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman.

PENUTUP

Kapitalisme memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk kebudayaan manusia modern seperti saat ini, Fukuyama mengatakannya sebagai kemenangan kapitalisme atas ideologi-ideologi lain yang pernah eksis dalam peradaban manusia. Kapitalisme sendiri sangat cair dan ibarat udara dia bisa memasuki ruang sekecil apapun, juga juga sepreti parasit yang mampu menyedot energi apapun yang ditumpanginya. Saking cairnya kapitalisme bukan lagi sebuah ideologi. Dengan kapitalisme juga konsumsi berkembang menjadi sebuah kebutuhan yang sangat urgent dalam masyarakat modern. Bagi sebagian kelas masyarakat gaya hidup telah menyangkut harkat dan martabat manusia itu sendiri. Karya seni rupa kontemporer adalah salah satu media simbolik untuk melegalkan gaya hidup kelas menengah atas pada umumnya dan juga termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta salah satunya.

Konsumsi selain menuntut nilai juga menginginkan perkembangan, dalam konteks tersebut seni rupa kontemporer akan terus berkembang seiring dengan keliaran-keliaran kreatif yang menyertainya. Seni mendasarkan diri pada kebebasan, dengan masuknya seni dalam lingkaran konsumsi budaya konsumer ini tentu akan ada sebuah mekanisme kontrol atas dirinya. Karena ”mengkonsumsi (membeli dan memiliki  menurut Wiliamson dalam masyarakat kita, memberikan rasa mengontrol” seperti dikutif Yasraf Amir Piliang. Akhirnya dalam uraian penutup ini penulis mengajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut; akankah cita rasa kolektor yang tentunya tidak bisa dilepaskan dari subyektivitas akan mengintervensi wilayah kreativitas seni atau seniman dalam berkarya?

Pernyataan ini menandakan pembahasan tentang perkembangan seni (rupa) tidak mungkin diselesaikan sampai di sini, ars longa (seni berumur panjang) sepanjang peradaban manusia.


DAFTAR PUSTAKA

David Chaney, 2004, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra Yogyakarta dan Bandung

Dany Cavallaro, 2004, Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori Budaya, Niagara Press, Yogyakarta

Heru Hikayat, Fetis Kita, Majalah Visual Art, vol. 6 no. 33 Oktober-November 2009

Ilham Koiri, Babak Baru Seni Rupa Indonesia, Kompas, Minggu 30 Agustus 2009

Silvana Silveira, Collecting Contemporary Art: A Cultural or Economic Capital ?,  di posting, 11 05 2008 http://www.ecoledumagasin.com/session17/spip.php?article106 diunduh pada tanggal  27 10 2009 : 11.00 WIB

Su Mei Thompson, Seni Sebagai Investasi, dalam Majalah Visual Art vol. 5 No. 25 Juni-Juli 2008

Tri Wahyuni, POSTMODERNISME? Tinjauan Ulang Tegangan Art–Design,  Majalah Versus edisi …2009

Yasraf Amir Piliang, 2004, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra press, Yogyakarta dan Bandung.

Yusuf Susilo Hartono, Sepak Terjang Kolektor Muda, Majalah Visual Art, vol. 6 no. 33 Oktober-November 2009


[1] Tri Wahyuni, POSTMODERNISME? Tinjauan Ulang Tegangan Art–Design,  Majalah Versus edisi …2009

[2] Ibid.

3 Silvana Silveira, Collecting Contemporary Art: A Cultural or Economic Capital ?,  di posting, 11 05 2008 http://www.ecoledumagasin.com/session17/spip.php?article106 diunduh pada tanggal  27 10 2009 : 11.00 WIB

[4] Ilham Koiri, Babak Baru Seni Rupa Indonesia, Kompas, Minggu 30 Agustus 2009

[5] Su Mei Thompson, Seni Sebagai Investasi, dalam Majalah Visual Art vol. 5 No. 25 Juni-Juli 2008

[6] David Chaney, 2004, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra Yogyakarta dan Bandung, p. 43

[7] Ibid. p. 42

[8] Dany Cavallaro, 2004, Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori Budaya, Niagara Press, Yogyakarta, p. 375

[9] Yusuf Susilo Hartono, Sepak Terjang Kolektor Muda, Majalah Visual Art, vol. 6 no. 33 Oktober-November 2009, p. 58

[10] Ibid, p. 59

[11] Ibid

[12] Yasraf Amir Piliang, 2004, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra press, Yogyakarta dan Bandung. p. 181

[13] Ibid

[14] Ibid p. 180

[15] Dany Cavallaro, 2004, Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori Budaya, Niagara Press, Yogyakarta, p. 373

[16] Ibid.

[17] Ibid.p. 375

[18] Heru Hikayat, Fetis Kita, Majalah Visual Art, vol. 6 no. 33 Oktober-November 2009, p. 51